ARCOM-MEDIA, Bandung. Guru Besar Universitas Padjadjaran dan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran mengkritisi Pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI dan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi lewat pembacaan “Maklumat Padjadjaran”, Senin, (19/5/2025), di Gedung Koeswadji Universitas Padjadjaran, jalan Prof. Eyckman No. 38 Kota Bandung.
Sebanyak 78 Guru Besar dan puluhan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran di hadapan para awak Media menyerukan penyelamatan pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan nasional, lewat “Maklumat Padjadjaran”, karena Kementerian Kesehatan RI dianggap membuat kebijakan yang mencederai sistem pendidikan Kedokteran dan melanggar etika profesionalisme.
Pembacaan Maklumat Padjadjaran dibacakan secara bergantian diawali oleh Prof. Dr. Endang Sutedja, dr., Sp.KK(K)., dilanjutkan oleh Prof. Dr. Johanes Cornelius Mose, dr., Sp.OG-KFM.
Maklumat Padjadjaran dibacakan untuk mengkritisi kebijakan Kementerian Kesehatan RI yang dinilai tidak membuka ruang komunikasi dengan para ahli di bidang kedokteran.
Prof. Johanes saat sesi tanya jawab dengan awak Media menegaskan, selama puluhan tahun komunikasi antara Guru Besar dan Akademisi Fakultas Kedokteran dengan Kementerian Kesehatan RI lancar, akan tetapi semenjak rezim Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin komunikasi menjadi memburuk.
Prof. Johanes menambahkan, ada tiga komponen yang membangun sistem pendidikan kedokteran di Indonesia yang dikenal dengan sebutan tiga tungku sajarangan, “Ketiganya harus tetap ada, jika hilang salah satu, maka akan terjadi ketidakseimbangan,” ujarnya.
Prof. Johanes menjelaskan, harus ada Kementerian Kesehatan yang membangun fasilitas rumah sakit pendidikan, kemudian ada Fakultas Kedokteran atau Kementerian Pendidikan Tinggi yang mengatur Dosen untuk memberikan pendidikan kedokteran di Rumah Sakit Pendidikan, namun juga ada kelompok atau tubuh yang lain yang independen, yaitu Kolegium.
Menurut Prof. Johanes, kolegium harus berdiri sendiri yang isinya adalah para ahli yang bertugas membuat kurikulum untuk pendidikan kedokteran, seperti diketahui, selama ini kolegium sudah mencetak ribuan dokter spesialis yang melayani masyarakat di bidang kesehatan.
Namun Prof. Johanes menegaskan, saat ini ada upaya dari Kementerian Kesehatan RI untuk memonopoli kolegium, ia khawatir jika kolegium diisi oleh yang bukan ahlinya dan mengubah kurikulum pendidikan kedokteran, maka akan membahayakan layanan kesehatan.
Sedangkan Guru Besar FK Univeristas Padjadjaran, Prof. Dr. Yoni Fuadah Syukriani, dr., Sp.FM(K)., M.Si., DFM., membenarkan bahwa saat ini komunikasi publik Kementerian Kesehatan RI sangat buruk akhir-akhir ini.
“Banyak pernyataan Kementerian Kesehatan RI melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang sifatnya spekulatif dan tanpa bukti ilmiah, akan tetapi tetap disampaikan kepada publik,” kata Prof. Yoni Fuadah.
Prof. Yoni Fuadah meminta persoalan pendidikan kedokteran tidak dilakukan sepihak oleh Kementerian Kesehatan RI saja, namun harus ada campur tangan Kementerian lain seperti Kemdiktisaintek, agar keputusan yang dihasilkan berdasarkan sinergi.
Sedangkan Dekan FK Unpad Prof. Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., SpOG(K)., secara ksatria menegaskan pihaknya siap dimutasi atas tindakan para Guru Besar dan puluhan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang mengeluarkan “Maklumat Padjadjaran”, “Saat ini banyak dokter spesialis yang kontra dengan kebijakan Kementerian Kesehatan RI dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mendapat mutasi dadakan,” ungkapnya.
Seperti diketahui Kementerian Kesehatan RI dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin diduga telah terbukti melewati batas kewenangan sektoral dan mengambil alih fungsi pendidikan tinggi, menjalankan kebijakan Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang bertentangan dengan sistem akademik nasional, merusak integritas keilmuan dan otonomi profesi medis, mengabaikan prinsip etik, transparansi, dan kolaborasi dalam perumusan kebijakan publik.
Berikut Isi Maklumat Padjadjaran:
Kami, para Guru Besar dan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Dengan rasa tanggung jawab intelektual, moral, dan profesional yang tinggi terhadap masa depan pendidikan kedokteran dan kualitas pelayanan kesehatan bangsa, menyampaikan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan Kementerian Kesehatan saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang telah diwacanakan dan/atau ditempuh tidak hanya mencederai tata kelola sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan nasional, namun juga berpotensi meruntuhkan pilar-pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan yang selama ini menjadi dasar keberlangsungan system kesehatan yang bermartabat dan berkeadilan.
Dari perspektif filsafat pelayanan publik dan pendidikan tinggi, negara memiliki tanggung jawab utama untuk menghormati martabat manusia dan menjamin bahwa pendidikan tenaga medis dijalankan dengan landasan etik, altruisme, profesionalisme, pengabdian, dan ilmu pengetahuan yang sahih. Pendidikan kedokteran bukan hanya proses teknis mencetak tenaga kerja, tetapi adalah tindakan merawat kehidupan, di mana setiap lulusan bukan hanya membawa kompetensi, tetapi juga nurani, tanggung jawab, dan kepercayaan publik.
Dari perspektif sosiologi profesi, institusi kedokteran berdiri di atas kontrak social antara negara dan masyarakat, yang memberi wewenang kepada profesi untuk melayani dengan etika, bukan sekadar memenuhi target administratif. Ketika pemerintah secara sepihak melemahkan kolegium, mengintervensi universitas, dan memindahkan proses pendidikan dari ruang akademik ke birokrasi, maka yang terjadi adalah pelanggaran terhadap etika secara umum dan etika kedokteran. Kita menyaksikan apa yang disebut Max Weber sebagai “Entzauberung” – hilangnya kesakralan ilmu dan pengabdian akibat rasionalitas instrumentalis.
Lebih jauh, ketika pemerintah mengubah rumah sakit pendidikan menjadi pusat produksi dan deregulasi kompetensi, tanpa ruang akademik, maka profesi medis tidak lagi menjadi pilar peradaban, melainkan alat sistem kekuasaan dan pasar. Ini bukan hanya krisis kebijakan, melainkan krisis nilai.
Oleh karenanya, kami menilai bahwa:
1. Kementerian Kesehatan RI telah bertindak melebihi kewenangan yang semestinya melekat pada jabatan sebagai pejabat negara yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasca penerbitan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023, Kementerian Kesehatan secara ekspansif mengambil alih fungsi desain dan pengelolaan pendidikan tenaga medis, termasuk:
– Pembentukan kolegium versi pemerintah tanpa partisipasi organisasi profesi dan universitas,
– Penyederhanaan jalur kompetensi profesi medis yang sulit dan berbahaya melalui pelatihan teknis singkat,
– Penerapan kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) secara unilateral, tanpa kerangka pendidikan tinggi.
Kebijakan pelaksanaan RSPPU yang cenderung sepihak dan mengabaikan ketentuan perundang-undangan menghapus peran universitas sebagai institusi akademik yang sah, melanggar prinsip otonomi ilmiah dan tridarma perguruan tinggi, serta berpotensi merusak mutu pendidikan spesialis dan sistem jaminan mutu pendidikan nasional.
2. Tindakan tersebut telah mengabaikan fungsi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sebagai pemegang otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pendidikan profesi medis bukan domain administratif kementerian teknis, melainkan bagian dari sistem akademik nasional. Saat rumah sakit vertical menjadi pusat pendidikan tanpa integrasi akademik, fungsi keilmuan, evaluasi akademik, dan pertanggungjawaban publik terhadap mutu lulusan menjadi lenyap
3. Tata kelola rumah sakit vertikal sebagai institusi pelayanan dan pendidikan klinik berada dalam kondisi rapuh dan tidak tersentuh reformasi.
Kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum tidak ditindak sebagai masalah sistemik, tetapi dijadikan dalih untuk mendiskreditkan institusi akademik dan organisasi profesi. Ini adalah bentuk pemindahan tanggung jawab (displacement of accountability) yang tidak etis dan membahayakan sistem.
4. Komunikasi publik Kementerian Kesehatan tidak mencerminkan etika pejabat negara.
Berbagai pernyataan spekulatif, tendensius, dan menyerang profesi secara menyeluruh memperburuk kepercayaan publik terhadap dokter dan lembaga pendidikan tinggi.
Dalam konteks demokrasi modern, komunikasi seorang menteri tidak sepatutnya menjadi alat framing kekuasaan, melainkan cerminan akal sehat negara.
Dengan ini kami memohon:
Kepada yang terhormat Presiden Republik Indonesia,
Untuk segera mengevaluasi dan mempertimbangkan figur kepemimpinan pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, karena kuat diduga telah terbukti:
– melewati batas kewenangan sektoral dan mengambil alih fungsi pendidikan tinggi,
– menjalankan kebijakan RSPPU yang bertentangan dengan system akademik nasional,
– merusak integritas keilmuan dan otonomi profesi medis,
– mengabaikan prinsip etik, transparansi, dan kolaborasi dalam perumusan kebijakan publik.
Kepada yang terhormat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia:
Untuk menginisiasi Reformasi Kesehatan Nasional, guna mengkaji secara serius dampak kebijakan Kementerian Kesehatan terhadap system pendidikan dokter/dokter spesialis, tata kelola rumah sakit vertikal, serta hubungan lintas kementerian dan antar institusi negara.
Kepada seluruh elemen bangsa kami mengajak:
Untuk bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan kedokteran di luar sistem pendidikan tinggi, karena pendidikan dokter adalah pengabdian berbasis nilai, bukan produksi tenaga kerja instan.
Untuk membangun kembali kolaborasi etis antara negara, universitas, rumah sakit, dan profesi, demi keselamatan pasien dan keadilan kesehatan di masa depan. (RED)