ARCOM-MEDIA, Bandung. Saya Rosadi Jamani, pernah bekerja di bawah naungan Jawa Pos Group, dan pernah menginjak gedung megah Graha Pena di Surabaya, merasakan denyut nadi ruang Redaksi, menyaksikan Deadline mengejar waktu, dan mendengar nama Dahlan Iskan seperti mantra sakral di kalangan Jurnalis.
Sosoknya tak sekadar seorang Pemimpin Media, tapi Guru, inspirator, bahkan legenda hidup bagi siapa pun yang pernah bersentuhan dengan dunia Pers Indonesia.
Namun hari ini, lelaki yang pernah menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu justru menggugat secara hukum rumah besarnya sendiri, Jawa Pos.
Bukan plot sinetron, bukan kisah fiksi, tapi kenyataan yang terasa getir sekaligus absurd.
Sebuah opera sabun media yang kini memiliki nomor perkara resmi: 621/Pdt.G/2025/PN Sby, terdaftar di Pengadilan Negeri Surabaya pada 10 Juni 2025, tanggal yang pantas kita peringati sebagai Hari Tinta Nasional, karena pada hari itu tinta gugatan tumpah dari tangan sang Maestro ke atas kertas pengadilan.
Kenapa Dahlan Menggugat?
Orang mungkin berpikir soal saham, soal kursi komisaris, soal kendali editorial, atau bahkan soal uang, tapi tidak, persoalan ini justru lebih mulia sekaligus lebih memilukan, yakni dokumen.
Beberapa lembar kertas peninggalannya di Kantor Pusat Jawa Pos, dokumen pribadi maupun perusahaan yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu saat transisi kepemimpinan.
Dokumen yang dulu dianggap sepele, tapi kini ketika ingin diambil kembali, tiba-tiba keberadaannya menjadi misteri.
Ada, tapi tak bisa diberikan, seperti kisah cinta yang kandas, “Aku masih menyimpan kenangan, tapi kamu tak bisa memilikinya lagi.”
Berulang kali Dahlan Iskan mencoba meminta baik-baik, memakai jalur kekeluargaan, bahkan etika pertemanan di antara mantan kolega.
Tapi tak berhasil. Maka, jalan satu-satunya yang tersisa adalah lewat meja hijau, ironi yang lebih kental lagi, karena Dahlan sejatinya masih memiliki 10,2 persen saham di perusahaan tersebut, secara hitungan buku, ia masih berhak atas akses di dalamnya.
Ketika Raja Harus Antri di Gerbang Istana Sendiri
Bayangkan, seorang Dahlan Iskan yang dulu bisa menentukan wajah halaman depan, bisa memutuskan siapa Jurnalis yang berangkat ke zona perang, siapa yang duduk di meja Redaksi, kini harus antre di ruang sidang untuk memperjuangkan haknya sendiri.
Jawa Pos yang dulu menakutkan Pemerintah dengan tajuk-tajuk berani, kini diguncang oleh surat gugatan dari pendirinya.
Meski demikian, secara bisnis, media ini masih eksis, oplah harian nasional masih di atas 800 ribu eksemplar, dengan lebih dari 200 jaringan media di seluruh Indonesia.
Mereka tetap hidup, tetap mencetak berita, tetap menggerakkan mesin cetak, tapi tampaknya lupa siapa yang dulu meletakkan batu pertama.
Di antara saham mayoritas yang kini dikuasai grup besar dan figur-figur baru, nama Dahlan tinggal kenangan.
Graffiti memegang 49,04 persen, Eric Samola 8,9 persen, Goenawan Mohammad 7,2 persen, dan para pemegang saham lainnya yang mungkin tak lagi memiliki ikatan emosional seperti dulu.
Ironi Dunia Jurnalisme
Kisah ini lebih dari sekadar perkara hukum. Ini adalah potret getir dunia jurnalistik Indonesia hari ini.
Ketika seorang pionir yang dulu menggenggam idealisme dan tinta di kedua tangannya, kini harus berhadapan dengan birokrasi korporasi dan kekuasaan media yang telah berubah wujud.
Dulu, Dahlan Iskan mengajarkan kami bahwa berita harus menggigit, harus bisa merobek kedok kekuasaan, hari ini, justru ia yang harus merobek kebisuan tembok yang dibangunnya sendiri.
Di usia yang tak lagi muda, dengan riwayat transplantasi hati yang sudah menjadi bagian dari kisah hidupnya, Dahlan tetap menunjukkan satu hal, prinsip itu tidak pensiun.
Ia bisa saja diam, menyerah, atau menerima perlakuan itu sebagai kenyataan pahit, tapi ia memilih menggugat, karena bagi seorang Jurnalis, kebenaran tetap harus dicari, meski melalui jalur hukum.
Dunia Sudah Terbalik
Kini dunia benar-benar sudah jungkir balik. Wartawan berubah jadi Content Creator TikTok, idealisme Redaksi kalah oleh Clickbait dan Traffic.
Sebuah headline “5 Alasan Mengapa Kamu Harus Berhenti Makan Mi Instan” bisa lebih diburu ketimbang laporan investigasi soal kasus korupsi miliaran rupiah.
Di tengah pusaran zaman itu, Dahlan Iskan seakan menjadi Dinosaurus yang ditertawakan karena masih memperjuangkan secarik kertas.
Namun sejarah tidak mengenal istilah “mantan.” Dahlan tetaplah Dahlan, sang pelopor, sang pejuang tinta, dan kini ia membuktikan bahwa bahkan di era digital, kertas masih bisa menggemparkan.
Tinta Itu Masih Menetes
Jika dulu tinta adalah darah para Jurnalis di medan perang berita, maka kali ini tinta itu menetes di surat gugatan perdata.
Bukan headline pagi ini, tapi sebuah dokumen gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya yang akan tercatat dalam sejarah Pers Indonesia.
Apa yang akan terjadi? kita belum tahu, tapi satu hal pasti, Dahlan Iskan telah menulis ulang babak baru dalam hidupnya, bukan di halaman koran, tapi di lembaran pengadilan.
Dan barangkali, kita semua, Jurnalis, pembaca, dan pegiat media, perlu bercermin, bahwa tak selamanya tinta hanya tumpah di atas naskah berita, kadang, ia tumpah di meja hakim. (RED / RJ)