ARCOM- MEDIA, Bandung. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat resmi menetapkan empat orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Pemerintah Kota Bandung kepada Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka Kota Bandung untuk tahun anggaran 2017, 2018, dan 2020. Nilai total dana hibah yang diterima dalam kurun waktu tersebut mencapai Rp.6,5 miliar.
Aspidsus Kejati Jabar Dwi Agus Arfianto mengatakan keempat tersangka diduga kuat telah menyalahgunakan dana hibah tersebut untuk kepentingan di luar peruntukannya dan membuat pertanggungjawaban fiktif.
“Dalam perkara ini, hasil penyidikan menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar lebih dari 20 persen dari total dana hibah yang disalurkan,” kata Aspidsus Kejati Jabar Dwi Agus Arfianto, melalui keterangan resmi Kejati, Jumat, (13/6/2025).
Modus Penggunaan Dana Tak Sesuai Aturan
Kasus bermula saat pengajuan proposal dana hibah pada tahun 2017 dan 2018, di mana tersangka YI, selalu Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Bandung periode 2016-2021 yang juga menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kota Bandung periode 2013-2018, bersepakat dengan tersangka DR yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Kota Bandung.
Keduanya sepakat memasukkan pos anggaran biaya representatif untuk pengurus Kwarcab dan honorarium staf Kwarcab, dua pos anggaran yang sejatinya tidak diatur dalam Keputusan Wali Kota Bandung tentang Standarisasi Harga Tertinggi Barang/Jasa di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Tak berhenti di situ, pada tahun anggaran 2017 dan 2018, tersangka DNH selaku Ketua Harian Kwarcab, diduga menggunakan dana hibah yang diterima untuk kegiatan di luar peruntukan, pertanggungjawaban keuangan yang dibuat pun ternyata bersifat fiktif.
Pada tahun 2020, praktik serupa kembali terjadi. Saat itu, tersangka EM yang menjabat Kadispora Kota Bandung sekaligus Ketua Harian Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Bandung, meloloskan kembali anggaran serupa tanpa dasar hukum yang jelas, bahkan EM pun terbukti menggunakan dana hibah dengan pertanggungjawaban fiktif.
“Dana hibah seharusnya digunakan untuk mendukung kegiatan kepramukaan. Namun faktanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu,” ungkap Aspidsus Kejati Jabar Dwi Agus Arfianto.
Penetapan Tersangka dan Penahanan
Berdasarkan hasil penyidikan, Kejati Jabar menetapkan empat orang sebagai tersangka:
DNH: Ketua Harian Kwarcab Pramuka Kota Bandung 2017-2018 / Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Hukum 2017-2018.
DR: Kadispora Kota Bandung 2017-2018 / Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kemitraan Kwarcab 2016-2019.
EM: Kadispora Kota Bandung / Ketua Harian Kwarcab 2020 / Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Hukum 2020.
YI: Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Bandung periode 2016-2021 / Sekda Kota Bandung 2013-2018.
Keempat tersangka ditetapkan setelah diperolehnya alat bukti yang cukup berupa keterangan saksi, ahli, surat, dan petunjuk. Ketiganya, yakni DNH, DR, dan EM, langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung selama 20 hari ke depan, terhitung sejak 12 Juni 2025.
Sementara tersangka YI, saat ini masih menjalani penahanan dalam kasus korupsi lain terkait pengelolaan Kebun Binatang Bandung, sehingga dalam perkara ini tidak dilakukan penahanan ulang.
“Penyidikan akan terus berjalan, dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka lain,”ujar Aspidsus Kejati Jabar Dwi Agus Arfianto.
Pasal yang Disangkakan
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman pidana maksimal yang dapat dikenakan adalah pidana penjara seumur hidup dan/atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
Dana Hibah dan Lubang Gelap Korupsi di Organisasi Sosial
Kasus korupsi dana hibah Kwarcab Gerakan Pramuka Kota Bandung menjadi potret betapa rentannya sistem pengelolaan dana hibah di daerah, khususnya yang ditujukan untuk organisasi kemasyarakatan.
Hibah yang sejatinya bertujuan untuk mendukung pembinaan generasi muda, justru dimanfaatkan oknum pejabat dan pengurus organisasi untuk kepentingan pribadi.
Fenomena ini bukan hal baru, sejumlah kasus serupa pernah mencuat di berbagai daerah, menandakan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap alur distribusi dan penggunaan dana hibah.
Dalam kasus Pramuka Kota Bandung, modus manipulasi muncul dalam bentuk pengadaan pos anggaran yang tidak sesuai ketentuan dan laporan pertanggungjawaban fiktif.
Selain itu banyak organisasi penerima hibah yang hanya dipantau secara administratif, tidak ada verifikasi langsung di lapangan, padahal dana miliaran rupiah itu rawan diselewengkan.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi Pemkot Bandung dan pemerintah daerah lainnya untuk mereformasi sistem hibah, mulai dari pengajuan proposal hingga pertanggungjawaban akhir.
Tidak hanya itu, aparat penegak hukum juga perlu membongkar kemungkinan keterlibatan pihak lain, termasuk pejabat Pemkot yang turut memuluskan pencairan dana bermasalah tersebut.
Lebih jauh, korupsi hibah di organisasi sosial seperti Pramuka berdampak ganda, selain kerugian negara, moral generasi muda yang menjadi binaan organisasi turut tercoreng.
Mereka yang seharusnya mendapat manfaat dari program pembinaan, justru menjadi korban kelicikan elite pengurusnya.
Ke depan, penyelenggaraan dana hibah harus didesain lebih transparan dengan melibatkan publik dalam proses pengawasan.
Tanpa itu, lubang gelap korupsi di balik alokasi dana hibah akan terus menjadi ladang bancakan bagi pejabat dan oknum yang tak bertanggung jawab. (RED)