ARCOM-MEDIA, Bandung. Di usia senjanya yang nyaris mencapai satu abad, Abah Landoeng Soewarno (99 thn) masih tegak berdiri sebagai saksi hidup sejarah.
Lelaki sepuh asal Bandung itu kembali menyuarakan kisah getir masa penjajahan dalam sebuah wawancara khusus yang digelar oleh televisi nasional Belanda, Nederlandse Omroep Stichting (NOS), Sabtu siang di Kota Bandung, (14/6/2025).
Dokumenter ini menjadi salah satu upaya media Belanda untuk merekam ulang memori kolektif tentang dampak pendudukan Jepang di Hindia Belanda, khususnya kisah para romusha, buruh paksa yang menjadi korban sistem perbudakan modern di masa Perang Dunia II.
Wawancara dilakukan di dua lokasi yang menyimpan memori sejarah bagi Abah Landoeng, yakni kawasan Batik Halus Bandung, dan di kediamannya di Gang Jameng 5, Cimahi.
Dalam wawancara yang dipandu langsung oleh Jurnalis Melinde Vassens dan didampingi reporter lokal, Ati, Abah Landoeng menceritakan kembali luka lama tentang penderitaan yang dialami dirinya, dan ribuan pemuda Indonesia lain di bawah kekuasaan balatentara Dai Nippon.
Dari Hutan Sukaluyu ke Jalan Sejarah
“Dulu di sini hutan lebat, cuma suara burung dan nyamuk, sekarang sudah rumah-rumah,” ucap Abah pelan, menunjuk deretan bangunan padat di kawasan Batik Halus.
Lebih dari delapan dekade lalu, remaja 17 tahun bernama Landoeng dipaksa bekerja tanpa upah bersama ratusan romusha lainnya, membuka jalan setapak di tengah belantara Sukaluyu, jalan itu, menurut Abah, hanya selebar satu meter, tetapi menelan nyawa banyak pemuda.
“Kalau lelah sedikit saja, kami dipukul pakai popor senapan, ditampar, atau diseret ke tengah lapangan buat dijemur, banyak teman Abah yang tidak pulang, ada yang mati karena sakit, ada yang kehabisan tenaga, ada juga yang dibuang begitu saja di lubang galian,” kenang Abah, dengan suara parau dan matanya berkaca-kaca.
Abah Landoeng juga mengingat bagaimana proyek pembuatan Goa Jepang di kawasan Dago menjadi saksi bisu ribuan pemuda Indonesia yang tewas akibat kerja paksa.
Saat itu, tentara Jepang membutuhkan tempat persembunyian dan gudang senjata di area pegunungan. “Yang bikin Goa Jepang itu romusha juga, hanya sedikit yang bisa pulang,” tuturnya Abah Landoeng lirih.
Suara yang Tak Pernah Padam
Wawancara kemudian berlanjut di kediaman Abah Landoeng di Cimahi, di rumah sederhana itulah Abah Landoeng tinggal bersama isterinya, Sani Suningsih, sejak 2018, setelah ditinggal almarhumah istri pertama, Mie Setiawati.
Abah Landoeng memiliki enam anak dari pernikahan pertama, yakni, Budi, Agung, Evan, Ayu, Deden, dan Dwi, yang rutin menjenguk dan mendampingi Abah Landoeng di sisa usianya.
Meski tubuhnya renta dan penglihatan mulai kabur, ingatan Abah Landoeng tentang masa-masa kelam itu masih terpatri kuat.
Dengan nada datar tapi tegas, ia mengucapkan rasa terima kasih kepada kru TV Belanda yang masih mau mendengar kisah seorang tua dari negeri jajahan.
“Abah Landoeng ini tinggal menunggu giliran dipanggil Gusti Allah, tapi selama napas ini masih ada, Abah mau cerita, supaya anak cucu tahu, jangan sampai kejadian itu terulang, penjajahan itu kejam, menyakitkan, dan tidak ada untungnya,” kata Abah Landoeng.
Abah Landoeng berharap Bangsa Indonesia tetap berdiri tegak melawan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan.
“Negara kita sudah sepakat dalam pembukaan UUD 1945, bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, jangan biarkan ada lagi anak muda yang menjadi korban seperti kami dulu,” ujar Abah Landoeng.
Dari Guru Hingga Veteran
Tak hanya sebagai saksi sejarah, Abah Landoeng juga dikenal sebagai pensiunan guru, yang mengabdi di dunia pendidikan sejak 1956 hingga 1996.
Dedikasinya di bidang pendidikan membuatnya dihormati bukan hanya di lingkungan keluarga, tetapi juga di masyarakat sekitar.
Tahun 2024 lalu, Abah dianugerahi Tanda Kehormatan Veteran Dwi Kora dari Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, sebagai penghargaan atas perjuangan dan pengabdiannya.
Bahkan, kisah hidupnya kini menjadi salah satu bagian dari pameran di Dutch Resistance Museum di Amsterdam, dalam pameran bertajuk The Former Dutch Colonies: From World War II to Independence.
Melinde Vassens, reporter TV NOS, mengaku terharu bisa mewawancarai langsung sosok sebijaksana Abah Landoeng.
“Abah Landoeng luar biasa, ucapannya lembut, tapi pesannya dalam dan menggugah, Abah Landoeng tidak menyampaikan dendam, tapi pelajaran kemanusiaan yang sangat berharga,” ujar Melinde Vassens.
Sementara Ati, jurnalis lokal yang mendampingi wawancara, menyebut Abah Landoeng sebagai suara nurani bangsa, “Abah Landoeng bukan sekadar saksi sejarah, tapi penjaga ingatan kolektif kita, mengingatkan bahwa kemerdekaan itu tidak pernah gratis, itu warisan dari penderitaan, darah, dan kesabaran yang luar biasa,” ujarnya.
Warisan yang Harus Dijaga
Di akhir wawancara, Abah Landoeng sempat menitipkan pesan untuk generasi muda Indonesia, “Jangan malas belajar sejarah, jangan bangga kalau hanya hafal lagu nasional, tapi tidak tahu siapa yang berjuang, supaya kita bisa menyanyikan lagu itu tanpa takut ditembak,” ujarnya, disambut anggukan para kru.
Kisah Abah Landoeng menjadi pengingat bahwa di balik kemerdekaan Indonesia, ada luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh, tapi dari luka itu pula, lahir kekuatan dan kebijaksanaan yang diwariskan kepada anak bangsa.
Kini, di usia 99 tahun, Abah Landoeng tetap menjadi penjaga ingatan, dan lewat dokumenter TV Belanda ini, suaranya akan abadi, menyusuri ruang-ruang sejarah yang tak boleh dilupakan. (RED / HS)