ARCOM-MEDIA-Bandung. Grey Art Gallery yang berlokasi di jalan Braga No.47 Kota Bandung menghadirkan pameran seni rupa Islami bertajuk, “Bulan Terbit.”
Pameran ini terbuka untuk umum dengan biaya masuk Rp.20.000 (weekday) dan Rp.25.000 (weekend), pameran ini berlangsung dari tanggal 15 Maret 2024 hingga 14 April 2024.
Kegiatan pembukaan Pameran
Seni Rupa Islami “Bulan Terbit” diawali Press Conference, Jumat, (15/3/2024), di Grey Art Gallery , dilanjutkan pembukaan yang dihadiri Ketua IKPM Gontor Cabang Bandung Raya H. M. Nurkholiq Almansury, Ketua LESBUMI Jawa Barat Dadan Mandani, dan Usman Agustin, S.Pd., mewakili KH. Zen Anwar Saeful Basyari, S.Pd.I., selaku Pimpinan Pondok Pesantren Al-Basyariyah Bandung.
Pameran ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang apresiasi seni, tetapi dapat menjadi forum diskusi dan berbagi pemikiran yang memperkaya pemahaman akan seni rupa Islam sebagai jembatan untuk memahami budaya dan nilai-nilai Islam
secara lebih mendalam.
Karya-karya yang dipamerkan pada “Bulan Terbit” mencerminkan keindahan, kearifan, dan kedalaman nilai-nilai Islam.
Pameran menghadirkan kaligrafi yang indah hingga karya karya instalasi yang menghadirkan pengalaman spiritualitas.
Setiap karya seni yang dipamerkan menawarkan pandangan yang
mendalam tentang keragaman seni rupa Islami.
Pameran “Bulan Terbit” menampilkan 85 karya dari 75 seniman, pameran ini juga berkolaborasi dengan Bormove dan Holy Zpace.
“Kami berharap pameran Bulan Terbit tidak hanya memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk menikmati keindahan seni rupa Islami, tetapi juga untuk merangsang pemikiran dan diskusi yang membangun,” kata Kurator
Wildan F. Akbar.
“Pameran ini diharapkan dapat menumbuhkan potensi besar seni rupa Islam sebagai jembatan antara budaya, nilai-nilai Islami dengan masyarakat luas,” ujar Kurator Wildan F. Akbar.
Wildan F. Akbar menambahkan, pameran ini berusaha menelaah perkembangan terkini wacana visual seni rupa Islami di Indonesia.
“Sasaran yang ditawarkan adalah gagasan visual dan diskursus yang
berhubungan dengan perkembangan seni rupa Islami di Indonesia serta variabel pendukungnya,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, Bulan Terbit Exhibition ini hadir bertepatan dengan bulan suci Ramadhan yang dirayakan oleh kaum Muslim dunia, sehingga pameran seni rupa Islami ini merupakan bentuk apresiasi di tengah perbedaan latar belakang masyarakat yang beragam.
“Bulan Terbit Exhibition dapat dijadikan sebagai penanda perkembangan seni rupa Islami dan wujud toleransi antar umat beragama dalam menyajikan karya rupa dari sudut pandang yang beragam,” kata Wildan, “Terminologi kata Islami mengacu pada nilai-nilai dan sifat keislaman,” ujarnya.
Wildan menjelaskan, karya seni
disebut Islami apabila kandungan nilai-nilai atau sistem yang bekerja di dalamnya mengadopsi ajaran Islam.
“Menimbang bahwa diksi Islami adalah kata adjektiva yang menerangkan nomina atau kata benda, maka secara relasi hegemoni nya didominasi oleh subjek seniman Muslim,” ungkap Wildan
“Namun tidak mesti demikian, seni Islami dapat juga dipresentasikan oleh subjek seniman nonmuslim selama karya seni yang dimaksud berisi kandungan nilai-nilai dan sifat keislaman,” tegas Wildan.
Wildan menjelaskan, seni rupa Islami adalah istilah umum yang merujuk pada nilai keislaman dan melekat di dalam karya rupa.
“Seni Islami merupakan ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam tentang Islam, juga perspektif non muslim terhadap Islam, serta pandangan manusia akan sistem kehidupan yang mengantar kepada pertemuan sempurna antara kebenaran
dan keindahan,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, Seni Islam berasal dari dimensi dalam batin yang berisi nilai-nilai kebaikan dan motivasi kebenaran, “Seni Islam mengandung dimensi dalam atau batiniah, tidak mungkin terlepas dari kerohanian Islam, Terminologi kerohanian dikaitkan dengan kata roh dan makna, kedua istilah tersebut memiliki pengertian segi batin.
Wildan menjelaskan, Menurut Nasr, kedua sumber spiritualitas Islam adalah Alquran dan Hadis, Seni Islam merupakan seni yang bukan hanya diciptakan oleh Muslim, melainkan lahir dari kandungan wahyu Islam sebagaimana hukum Tuhan atau syariat dan jalan atau tarekat.
“Seni Islam adalah hasil dari sebuah kerohanian Islam, mengingat asalnya, sebagai pembantu, pelengkap dan pendukung bagi kehidupan spiritual karena merupakan realisasi menuju jalan fitrah,” kata Wildan.
Wildan menjelaskan, Nasr menekankan seni Islam berlandaskan pada pengetahuan, yaitu pengetahuan yang ditunjuk sebagai hikmah atau kebijaksanaan.
“Dalam wacana estetika dunia, terdapat cara pandang yang berbeda antara pemikir Barat dengan pemikir Islam, pemikir barat modern memiliki kecenderungan menata nilai-nilai estetik ke arah bagaimana hubungan manusia dengan realitas diwujudkan dalam bentuk praktis karya seni dan menimbulkan reaksi panca indera serta aspek-aspek psikologis manusia,” ungkap Wildan.
“Sedangkan dalam nilai-nilai estetik Islam memiliki kecenderungan untuk tidak hanya fokus pada manusia dan realitasnya, akan tetapi kehidupan setelahnya,” ujar Wildan.
Wildan menjelaskan, menurut Agus Sachari, nilai estetik Islam memiliki
kecenderungan untuk menghampakan dunia karena sesuatu yang konkrit absolut itu hanya Tuhan, yang lain adalah tanpa makna, hampa, dan kosong.
“Manusia mendapatkan pengertian mereka mengenai dunia dan diri mereka sendiri tidak hanya lewat pemahaman lazim, melainkan melalui seni dan agama,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, menurut Muhammad Iqbal, seni tidak mempunyai arti tanpa pertalian dengan kehidupan manusia dan masyarakat.
“Tujuan seni dalam pandangannya yaitu pertama, hidup itu sendiri, seni harus menciptakan kerinduan pada hidup yang abadi, seni ialah sarana yang berharga bagi prestasi kehidupan, kedua, pembinaan manusia, seni menjadi sedikit unsur manfaatnya, ketika tidak mampu membangun kepribadian, ketiga, kemajuan sosial tentang hubungan seni dengan masyarakat,” ungkap Wildan.
Wildan menegaskan, pada prinsipnya konsep estetika Islam didasarkan pada gagasan tertentu dari sebuah Hadis yang menyebutkan “Sesungguhnya Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan”.
“Keindahan atau sesuatu yang indah, menurut Al-Ghazali adalah yang
dicintai, karena keindahan itu memberikan kesenangan, seperti untuk membuktikan bahwa Tuhan itu indah, niscaya Dia dicintai oleh ia yang mengetahui keindahan dan
ketinggian-Nya,” kata Wildan.
Wildan menambahkan, Al-Ghazali memandang keindahan dari luar konsep cinta diri atau menyebutkan keindahan yang berasal dari keindahan itu sendiri, tanpa mengharapkan keuntungan atau pamrih.
“Ini berarti bahwa ia mengekspresikan secara khusus satu wilayah jiwa yang terbuka menuju dimensi batin, menuju satu perjumpaan dengan kehadiran Tuhan,” ungkap Wildan.
Wildan menjelaskan, spiritualitas Islam adalah suatu penyaksian (syahadah) atau kontemplasi (masyahadah) akan kesatuan Tuhan.
“Pada tingkatan bentuk, kesatuan ini
memanifestasikan dirinya secara langsung sebagai keindahan, oleh karena itu, sesuai hadis Nabi Muhammad bahwa “Allah tidak melihat kamu dari rupa dan bentuk fisikmu, tetapi melihatmu dari hatimu”, maka penilaian dalam Islam tidak hanya meliputi keindahan bentuk fisik, tetapi juga meliputi keindahan batiniah,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, dalam
konteks tersebut, seni Islam secara esensial merupakan seni kontemplatif, ia mengekspresikan secara khusus satu wilayah jiwa, menuju dimensi batin, menuju satu perjumpaan dengan kehadiran Tuhan.
“Seni Islam merupakan media
perenungan, sebagai dasar argumentasi tujuan spiritual Islam sekaligus dasar pikiran dengan pendekatan spiritualitas,” kata Wildan, “Kekuatan tekad dalam menuju sebuah pencapaian perlu dilandasi niat dan kemurnian diri melalui dimensi batin,” ujarnya.
Wildan menjelaskan, seni adalah salah satu dari tujuh aspek integral di samping sistem agama, pengetahuan, bahasa, ekonomi, teknologi, dan tatanan sosial sebuah kebudayaan.
“Seni berkembang saling mempengaruhi secara simultan dengan keseluruhan kebudayaan yang bersangkutan, dan sebagai sebuah kebudayaan yang lengkap, dan bukan hanya sekedar sistem teologis,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, Islam memiliki aspek seni yang berkembang seiring perkembangan umat, “Namun, karena “kelengahan” sejarah, aspek ini terabaikan sehingga pemikiran seni dalam dunia Islam hanya merupakan bagian sejarah marginal yang muncul secara tidak tentu.
“Dalam konteks seni, Islam memberikan alternatif dalam eksplorasi instrumen seni, meski perbedaan pendapat selalu
ditemukan dalam mencari perspektif hukum berkesenian dalam Islam, namun dalam keyakinan ilmu Fiqih selama didapati dalil naqli yang menyatakan boleh atau tidak boleh, perbedaan menjadi sesuatu keniscayaan dan seharusnya diterima oleh berbagai pihak,” kata Wildan.
Wildan menjelaskan, secara umum seni rupa Islam bertolak dari konsep tauhid (mengesakan) yang dimulai dari kesaksian syahadah, bahwa tiada Tuhan selain Allah.
“Maka ketentuan dalam estetika Islam adalah bermuatan Alquran dan Hadis yang dipadu dengan teori estetika Barat, sehingga menjadi kesatuan yang utuh tanpa harus saling menjatuhkan,” ujar Wildan.
Wildan menambahkan, secara historis, seni Islam mengalami interaksi dan integrasi, artinya, dengan perkembangan wilayah Islam, seni Islam banyak berinteraksi dengan kebudayaan lain dan memunculkan keanekaragaman
ekspresi seni.
“Akan tetapi akulturasi ini selalu terintegrasi dalam sebuah worldview
Islam yang memiliki karakteristik partikular yang membedakan seni Islam dengan seni-seni lain,” ungkap Wildan.
“Hal ini sangat urgen dilakukan agar seni Islam sebagai produk historis yang didasarkan pada konsep estetika Islam dapat berkembang dengan baik, seperti halnya seni-seni lain dalam kebudayaan Barat yang telah mendominasi peradaban dunia,” ujar Wildan.
“Seni Islami juga dapat berinteraksi dengan seni lain, guna mengambil unsur positif tanpa harus menanggalkan jati dirinya,” kata Wildan.
Wildan menjelaskan, seni rupa Islam merupakan sarana ekspresi dan kreasi seniman yang diwujudkan dengan karya seni yang berlandaskan pada aspek-aspek Islam, “Seni menjadi sebuah pengantar ajaran Islam melalui media visual yang mengandung nilai keindahan dan kebaikan,” ujarnya.
Wildan mengungkapkan, perkembangan seni rupa Islami dewasa ini mengalami transformasi yang menarik untuk dibahas sebagai wacana diskursus.
“Seni Islam tidak harus bercerita tentang_Islam, seni Islami adalah ekspresi keindahan visual dari perspektif Islam tentang alam dan kehidupan,” kata Wildan.
“Manusia sebagai subjek untuk mengantarkan pertemuan antara kebenaran dan keindahan melalui karya seni yang diciptakan, maka sikap penghormatan terhadap peran individu dan subjek seniman sebagai Muslim atau bukan berada pada tatanan yang bersifat etik dan kritikal,” ujar Wildan.
“Wacana seni rupa Islami sebagai gagasan baru untuk mengakomodasi kompleksitas seni rupa Islam menjadi
kebutuhan yang mesti direalisasikan,” tegas Wildan.
Wildan menjelaskan, eksistensi praktik seni rupa Islami dengan latar belakang yang berbeda akan memperkaya warna seni rupa Indonesia.
“Tahun 1970-an dapat dikatakan sebagai awal kelahiran seni rupa modern Islam di Indonesia, ditandai dengan maraknya perbincangan serius perihal topik-topik seni rupa Islam yang terus berkembang hingga sekarang,” ungkap Wildan.
Wildan menjelaskan, gagasan pameran seni rupa Islami bertajuk “Bulan Terbit” akan menggambarkan perkembangan seni rupa Islam di Indonesia saat ini dengan segala variabel yang relevan dengan zamannya.
“Lebih jauh ini akan memberikan kontribusi seni terhadap perkembangan seni rupa Indonesia dalam konstelasi seni rupa dunia,” tegas Wildan.
“Bulan Terbit Exhibition menawarkan seniman untuk menyelami detail yang mendasari aktivitas dan proses harian, tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana hal-hal bekerja pada tingkat yang dapat diukur, bukan melangkah mundur dan melihat gambaran besarnya,” kata Wildan.
Wildan mengungkapkan, latar belakang pameran ini salah satunya
menimbang bahwa praktik seni rupa Islami bukanlah sebatas kemampuan teknis dan kerja praksis semata berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam, melainkan berupa bingkai kesadaran tentang diri seniman beserta sikap dan pengalaman estetiknya dalam memaknai nilai-nilai Islami dalam keberagaman suku bangsa di Indonesia.
“Tentunya penilaian terhadap sebuah karya seni berkenaan dengan nilai-nilai atau kualitas estetik yang sering berkorelasi dengan nilai kebaruan, orisinalitas, kekhasan, keterampilan, teknik hingga keunggulan sensibilitas dan sensitivitas sesuai dengan
teori-teori estetika yang dipakai sebagai pijakan sebuah nilai seni yang baik,” pungkas Wildan. (BRH)