ARCOM-MEDIA, Bandung. Di sebuah sudut jalan di kawasan Arjuna, Bandung, tampak sosok lelaki tua renta, berpakaian ala tentara lengkap dengan baret merah yang sudah mulai kusam dimakan usia.
Tubuhnya kurus, kulit keriput, namun semangatnya menyala-nyala, namanya Abdul Rochim, atau dijuluki Sang ‘Komandan’, usianya sudah 88 tahun kala itu, namun ia tetap setia dengan becak tuanya, sahabat sekaligus saksi hidup perjalanan panjang seorang lelaki sederhana yang memilih berjuang, bahkan ketika dunia seakan lupa padanya.
Jurnalis senior Iwan Lumintang yang akrab disapa Abah Iwan sempat berbincang dengan Sang ‘Komandan’ pada 13 September 2018.
“Saya, saat itu berkesempatan duduk bersama Sang ‘Komandan’ dalam sebuah obrolan santai yang justru sarat makna,” kata Iwan Lumintang, Kamis, (12/6/2025), di Bandung.
“Saat itu Sang ‘Komandan’ bercerita panjang tentang hidupnya, tentang masa-masa kelam penjajahan, tentang pengkhianatan waktu, dan tentang rasa cinta yang tak pernah pudar pada negeri ini.
Dari Pasar Pagi Cirebon ke Bandung yang Bergolak
Abdul Rochim lahir di Pasar Pagi, Cirebon, tahun 1930, masa kecilnya jauh dari kemewahan, ketika Indonesia masih terbelenggu dalam cengkeraman kolonialisme Belanda, Rochim muda justru menemukan jati dirinya sebagai pejuang.
“Sang Komandan saat itu mengatakan, ia belum mengerti politik, belum mengerti soal Republik, tapi ia tahu bangsanya dijajah, dan itu salah,” ungkap Iwan Lumintang.
Di usia belia, Abdul Rochim nekat meninggalkan Cirebon menuju Bandung yang kala itu menjadi salah satu titik panas perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Bukan sebagai tentara, bukan pula sebagai pejuang bersenjata, ia hanya membawa keberanian, semangat, dan keyakinan bahwa kemerdekaan layak diperjuangkan siapa saja, tanpa harus berpangkat atau bersenjata.
Iwan Lumintang menceritakan, Sang Komandan saat itu membawa golok, kadang hanya bambu runcing, “Dia ikut saja bersama pejuang-pejuang lain, ke hutan, ke kampung-kampung, untuk melawan Belanda, melawan Jepang, bukan karena dia berani, tapi karena dia tahu dia harus berbuat sesuatu,” ujarnya sambil mengungkapkan saat itu mata Sang Komandan buram menatap jauh seakan menyaksikan kembali bayang-bayang masa lalu.
Pejuang Tanpa Tanda Jasa
Seiring waktu, penjajahan berakhir, dan Indonesia merdeka, namun hidup tak lantas bersahabat untuk Abdul Rochim, tanpa latar belakang pendidikan, tanpa harta, ia pun menggantungkan hidup sebagai penarik becak, sejak tahun 1950-an, becak tuanya menjadi teman setia yang mengantarkannya mencari rezeki di jalanan Kota Bandung.
“ia mulai menarik becak dari tahun lima puluhan, menurutnya, kalau tidak narik becak, maka ia tidak bisa makan, karena ia tidak mendapat uang pensiun, ia pernah mengatakan, ia tidak pernah mengharapkan belas kasihan, yang penting ia bisa hidup jujur, tidak minta-minta,” ungkap Iwan Lumintang menceritakan obrolannya dengan Sang ‘Komandan.
Abdul Rochim memiliki tujuh orang anak dan belasan cucu, namun, ia enggan bergantung kepada mereka, “Ia tidak mau menyusahkan anak-anaknya, menurutnya, biar mereka punya kehidupan masing-masing, pernah ada yang bantu waktu lebaran, itu pun seadanya, ia mensyukurinya, padahal ia tidak minta,” ungkap Iwan Lumintang.
Setiap harinya, lelaki yang dijuluki warga sekitar dengan sebutan “Komandan” ini selalu mengenakan atribut tentara, sebuah wujud kebanggaan sekaligus penghormatan pada masa lalunya sebagai pejuang.
Meski penglihatannya makin kabur, ia tetap berkeliling menarik becak, “Ia pernah mengatakan kalau matanya sudah burem, dan ia selalu menggosok minyak angin di pelipisnya, menurutnya biar agak terang, Sang Komandan pernah berkata ia sudah pasrah karena tidak punya BPJS, ia merasa tidak dianggap,” ungkap Iwan Lumintang yang mendengar suara Sang Komandan datar, tanpa nada keluh.
Cinta yang Tetap Menyala
Abdul Rochim tinggal di sebuah rumah petak sederhana di RW 12 Kelurahan Husein Sastranegara, Kota Bandung, bersama istrinya, Ceu Erah, yang usianya terpaut 43 tahun, walau hidup pas-pasan, ia selalu menyisihkan hasil kerjanya untuk sang istri.
“Ia pernah berkata, ia bekerja untuk istrinya, Ceu Erah, meskipun orang bilang ia gila, karena tua-tua masih narik becak, ia tidak peduli, menurutnya ia tidak mengganggu orang, tidak minta-minta, menurutnya yang penting dirinya pejuang,” ungkap Iwan Lumintang.
“Baginya, perjuangan tak pernah selesai, menurut Sang Komandan Bendera Merah Putih itu bukan buat 17 Agustusan saja, seharusnya setiap hari dikibarkan, setiap hari kita buktikan kita cinta NKRI, ia bangga membawa bendera merah putih di becak tuanya” ungkap Iwan Lumintang sambil menceritakan saat itu Sang Komandan menunjuk ke bendera kecil yang terpasang di bagian depan becaknya.
Pahlawan Tak Dikenal
Iwan Lumintang menceritakan, ketika ditanya soal gelar pahlawan, Abdul Rochim hanya tertawa kecil, menurutnya ia hanya Pahlawan tak dikenal, ia berkata tidak apa-apa,yang penting ia pernah berjuang, walaupun ia tidak punya tanda jasa tidak ada piagam, tapi hatinya tenang, ia dengan tegas berkata ia bangga pernah angkat golok lawan penjajah, walaupun cuma rakyat biasa,” ungkap Iwan Lumintang.
Warga sekitar mengenalnya sebagai sosok yang keras, disiplin, dan selalu memegang teguh prinsip, meski fisiknya renta, semangatnya tetap muda, ia dikenal suka menasehati anak-anak muda di kampungnya agar tidak melupakan sejarah dan tetap mencintai tanah air.
Selamat Jalan, Komandan
Kini, Abdul Rochim telah berpulang. Ia meninggal dunia di kampung halaman istrinya, di Cililin, Kabupaten Bandung.
Becak kesayangannya, yang setia menemaninya puluhan tahun, konon telah dihancurkan oleh anaknya.
Sebuah akhir yang mungkin ironis, namun dalam sunyi, nama Abdul Rochim tetap hidup di hati mereka yang mengenal kisahnya.
Al Fatihah untuk Abdul Rochim Sang ‘Komandan’ pejuang sepanjang hayat yang tetap tegar berjalan di jalan hidupnya, tanpa berharap belas kasihan, dan tanpa pernah menyerah.
Seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang namanya mungkin tak tercatat di buku sejarah, namun keberaniannya abadi di hati Bangsa. (RED)