ARCOM-MEDIA, Kabupaten Bandung. Fenomena politik di Indonesia mendapat tanggapan dari Masyarakat Kampung Adat Olot Jawa Barat yang dipimpin Jajang Sanaga, para Olot menyampaikan kekhawatiran domokrasi saat ini yang semakin rusak.
Jajang Hardi Wiyono atau biasa disapa Jajang Sanaga yang merupakan Ketua Harian Barisan Olot Jawa Barat (BOMA Jabar) sebagai warga Kampung Bunisari, RT 027 RW 05, Desa Neglasari, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya membawa perwakilan dari seluruh masyarakat tanah Pasundan ke kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Senin, (6/11/2023).
Berkumpulnya BOMA di kaki Gunung Manglayang yang terdiri dari perwakilan daerah Kab. Tasikmalaya, Kab. Sumedang, Kab. Ciamis, Kab. Pangandaran, Kab. Subang, Kab. Bandung dan Provinsi Banten menggelar doa dan aksi teatrikal kekecewaan terhadap proses demokrasi saat ini.
Aksi teatrikal terpantau sangat khidmat dengan ritual yang begitu beradab dengan memohon doa kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kesadaran, dan membalikkan hati para oknum yang ingin merusak bangsa Indonesia.
Aksi teatrikal disajikan dengan kemasan seragam pangsi hitam yang umumnya dikenakan para kaum laki-laki, dan menghadirkan para perempuan sebagai penari Talawangsa dari Rancakalong, Kabupaten Subang yang memakai baju hitam dengan selendang merah putih di bahu mengurai ke bawah, tangan kanan memegang kain merah dan tangan kiri memegang kain putih.
Sebelumnya kerumunan yang menghadap sesaji (khas Sunda) berdoa dipimpin sesepuh BOMA Jabar.
Di ujung lapang seusai berdoa, sebagian kaum laki-laki membawa keranda kematian yang bertuliskan demokrasi yang mati, ada juga yang membawa poster para tokoh Indonesia di antaranya, Soekarno, Mohammad Hatta, Otto Iskandar Dinata, dan Dewi Sartika disertai beberapa umbul-umbul, dan bendera merah putih.
Teatrikal dimulai dengan berlari-larinya seorang laki-laki membawa poster kecebong, menabrak para kerumunan yang membawa poster tokoh bangsa, sambil diiringi musik Talawangsa dengan empat orang penari menikmati setiap nada yang diikuti gerak tubuhnya yang begitu mistis.
Adegan tersebut kemudian di sambut para kelompok yang membawa keranda dengan iringan puisi kekecewaan dari Adang Suparman seorang Praktisi Sunda.
”Hai sadarlah, sadarlah engkau yang diberi kekuasaan, karena kami orang Sunda menolak adanya penghianat bangsa, pergi, pergi dari tanah ini, karena kami ingin damai, makmur dan sejahtera,” ujar Adang Suparman.
Kemudian disambut penggalan puisi sambil membakar keranda di api pinggir lapang yang sudah menyala, sambil para lakon berteriak, “Bakar, bakar emosi dan kejahatan kalian,” ujarnya sembari diiringi musik Talawangsa.
Seusai aksi teatrikal, Jajang Hardi Wiyono atau biasa disapa Jajang Sanaga mengatakan, Masyarakat Kampung Adat Olot Jawa Barat yang merupakan warga tanah Pasundan merasa kecewa dengan sistem kekuasaan yang tidak terpuji.
“Adanya cerita tentang Mahkamah Konstitusi yang terkesan telah di giring menjadi Mahkamah Keluarga membuat kami kecewa, apakah ini demi ketidak puasan memimpin negara selama dua periode?, kini setelah 10 tahun lamanya terkesan ingin melahirkan aturan baru untuk bisa menjadi tiga periode,” ujar Jajang Hardi Wiyono.
Padahal menurut Jajang Hardi Wiyono, konstitusi hakekatnya tidak membuka ruang dengan masa jabatan Presiden tiga periode, artinya sudah tidak sejalan dengan yang telah di amanatkan para pendiri terdahulu.
“Bahkan empat pilar bangsa yang dihimbau bisa mengimplementasikan dalam kehidupan sehari hari yakni, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI tidak dihayati secara seksama dan komitmen,” tegas Jajang Hardi Wiyono.
“Karena itu, kami yang di lahirkan di tanah Pasundan tidak akan tinggal diam, apabila ada yang mau menghancurkan empat pilar tesebut,” tegas Jajang Hardi Wiyono.
“Demokrasi kita sudah semrawut, maka dari itu gelaran ini sebagai bentuk keprihatinan, terutama telah hilangnya etika kebangsaan,” pungkas Jajang Hardi Wiyono. (RED / ELD / GUN / HNY)